Apa yang akan Anak alami jika Orangtua Bercerai?
Perceraian adalah keputusan yang diambil oleh sepasang suami istri untuk mengakhiri pernikahan mereka. Data dari Pengadilan Agama di Indonesia menunjukan bahwa angka perceraian di tahun 2018 meningkat dengan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika di tahun 2017 ada total 374,516 kasus perceraian, di tahun 2018 kasus perceraian mencapai angka 419.264 kasus (dalam Supratman, 2019).
Alasan untuk bercerai bisa bermacam-macam. Beberapa di antaranya adalah perselingkuhan, kegagalan salah satu pihak untuk berperan dengan baik dalam keluarga, tidak dapat saling memahami, dan banyak lainnya. Ketika keharmonisan dalam keluarga sudah tidak ada, tinggal dalam relasi pernikahan akan dirasa menyakitkan. Oleh sebab itu dalam banyak kasus, perceraian dilihat sebagai solusi yang tepat dan sehat untuk semua pihak.
Dalam prosesnya, perceraian kedua orangtua merupakan tekanan bagi anak. Anak yang terdampak dari perceraian memiliki resiko menjadi pelampiasan stress orangtua mereka (Eyo, 2018). Tidak hanya itu, proses perceraian terkadang membuat orang tua kehabisan energi dan tidak dapat memperhatikan anak. Padahal di masa-masa seperti ini, anak-anak juga sedang menghadapi “badai” dan butuh untuk diperhatikan.
Cerai adalah perpisahan kedua orangtua yang merobek hubungan keluarga. Sebagai bagian dari keluarga, perspektif anak mengenai perceraian tidak kalah penting.
Apa yang mereka alami? Apa yang mereka pikirkan?
- Adanya gangguan psikologis dan emosi
Masyarakat di Indonesia masih memiliki stigma negatif tentang keluarga yang bercerai. Apalagi jika anak dibesarkan oleh orangtua tunggal. Sering kali, masyarakat mengaitkan kekurangan atau pun masalah yang dihadapi oleh anak sebagai akibat dari kegagalan orangtua dalam mendidik dan mempertahankan keutuhan keluarga.
Salah satu narasumber dari penelitian Supratman (2019 ) menjelaskan apa yang ia rasakan saat perceraian keduaorangtuanya menajdi pembicaraan. “Saya merasa malu…setiap kali saya pergi ke kampus, saya kehilangan kepercayaan diri sebagai anak yang orangtuanya bercerai. Sedih sekali mengetahui bahwa ibu saya menjadi bahan omongan di lingkungan tempat tinggal saya”.
Tidak hanya dari lingkungan itu, narasumber lain menjabarkan bagaimana keluarga besar memperlakukan mereka dengan buruk. “Mereka meneriaki keluargaku sebagai orangtua yang gagal. Aku merasa sangat menyedihkan…Aku mendengar keluarga besar ada yang mengatakan bahwa ‘mereka merusak reputasi mereka’. Mengapa mereka mengatakan itu? Kita tidak melakukan tindak kriminal. Aku merasa sangat buruk.”
Perceraian yang tidak disertai dengan lingkungan yang suportif akan membuat anak tumbuh dengan mengalami tekanan emosi yang sangat tinggi. Tidak hanya harus bangkit dari masalah orangtua di rumah, mereka juga harus bertahan dari pihak eksternal yang akan menyerang mereka dengan perkataan-perkataan negatif (Eyo, 2018).
- Terpapar resiko perilaku bermasalah
Anak dari keluarga yang bercerai memiliki komunikasi yang tidak efektif dengan orangtua (Supratman, 2019). Hal ini dikarenakan anak cenderung mengasosiasikan orangtua sebagai sumber stress mereka. Ketika anak tidak lagi mempercayai orangtua, anak akan mencari lingkungan lain yang dapat membuatnya merasa lebih baik. Disini, anak akan beresiko untuk mengadaptasi perilaku bermasalah.
Anak yang merasa tidak nyaman di keluarganya akan berusaha segiat mungkin untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungan yang lain. Ini adalah celah untuk anak terlibat dalam pergaulan bebas. Gustaven, Nayga dan Wu (2016) menemukan bahwa anak dari keluarga yang bercerai memiliki resiko lebih tinggi untuk menggunakan obat-obatan dan alkohol. Tidak hanya itu, Eyo (2018) menjelaskan bahwa anak beresiko untuk melakukan aktivitas seksual yang tidak sehat, perampokan, dan lain-lain. Tapi karena anak menolak untuk terbuka pada orangtua, orangtua bisa kesulitan untuk mendeteksi perilaku bermasalah yang dilakukan oleh anak dan membuat mereka semakin terjerumus dalam lingkungan yang tidak baik.
- Tumbuhnya gambaran diri yang negatif
Gambaran diri yang negatif ada anak dapat tumbuh karena dua hal. Yang pertama adalah ketika orangtua sering menjadikan mereka alasan atau sumber pertengkaran. Sebagai contoh, konflik suami istri yang muncul karena nilai jelek anak di sekolah. Salah satu pihak bisa saja menyalahkan pihak yang lain karena tidak mendidik anak dengan baik. Contoh lainnya, ketika salah satu orangtua menjadikan anak sebagai alasan dari kelalaian mereka. Karena alasan mengurus anak, salah satu pihak tidak melakukan tanggung jawab dengan baik. Hal yang terlihat sederhana ini membuat anak akan sering menyalahkan dirinya, apalagi jika konflik-konflik seperti ini mengarahkan orangtua pada perceraian.
Kedua, ketika anak merasa bahwa cerai lebih penting daripada wellbeing mereka. Konflik dan perceraian orangtua membuat anak hancur, dan ini membuat keutuhan adalah hal yang sangat mereka butuhkan. Tapi jika hingga pada akhirnya orangtua tetap memutuskan untuk berpisah, anak akan merasa bahwa kebahagiaan mereka tidak cukup bernilai. Tidak cukup penting untuk membuat orangtua mereka memulihkan hubungan. Salah satu narasumber pernah bercerita bagaimana ketika ibunya memutuskan untuk pergi, ia merasa sangat kecewa. Ia jadi mempertanyakan apakah ia dan saudara-saudaranya tidak layak untuk dipertahankan.
Apa yang harus dilakukan?
Membuat anak tumbuh dalam lingkungan konflik yang terus menerus memang tidak baik. Tapi perpisahan akibat perceraian juga dapat menimbulkan luka yang dalam untuk anak. Oleh sebab itu, penting bagi orangtua untuk mengupayakan relasi yang sehat dalam keluarga.
Resolusi konflik menjadi kunci penting untuk menjaga keharmonisan keluarga. Pasangan perlu membangun komunikasi yang sehat, belajar untuk saling memaafkan, dan merefleksikan kembali makna keluarga untuk mereka dan anak-anak mereka. Bila konflik menjadi sangat sering dan semakin sulit untuk ditanggung, mengambil sesi konseling pernikahan atau keluarga perlu untuk dilakukan. Jika mengupayakan konseling dan bercerai sama-sama memiliki stigma negatif di mata masyarakat, upayakanlah konseling. Tidak hanya konseling membuka peluang pemulihan hubungan, konseling juga merupakan usaha untuk sama-sama menunjukan bahwa keluarga layak untuk dipertahankan.
Referensi
- Eyo, U. E. (2018). Divorce: causes and effects on children. Asian Journal of Humanities and Social Studies,6 (5), 172-177.
- Gustavsen, G. W., Nayga, R. M., & Wu, X. (2016). Effects of parental divorce on teenage children’s risk behaviors: incidence and persistence. Journal of family and economic issues, 37(3), 474-487.
- Supratman, L. P. (2019). A Qualitative Study of Teenagers Viewpoint in Dealing with Parents’ Divorce in Indonesia. Journal of Divorce & Remarriage, 1-13.
Ditulis oleh: Amanda Teonata, S.Psi.
Sumber gambar: Heart photo created by freepik – www.freepik.com
Others
- Mengapa Gen Z cenderung tidak tertarik menikah? September 1, 2025
- Helping Clients Heal from Father Wounds July 16, 2025
- Bisa romantis tapi gak kompak ngasuh anak? July 3, 2025
- Parenting VOC vs Gentle Parenting June 11, 2025
- Remaja Gak Butuh Ditanya, Tapi Dipahami May 7, 2025